"Identity refers to the social groups which an individual sees himself or herself to be a part. All individuals have multiple identities because of the multiple social roles we play - parent, teacher, student, brother or sister, worker, etc. One particularly interesting type of identity is our cultural identity. This refers to individuals' psychological membership in a distinct culture." (Matsumoto & Juang, 2008, p. 341)
One of my deepest reflection on being an overseas student maybe is about finding our true cultural identity. Who am I? Kedengerannya agak-agak basi yah, tapi ini yang saya rasakan disini.. Jadi ceritanya waktu itu lagi mata kuliah Multi-Cultural Counseling. Saya lagi presentasi di depan kelas (lupa topik presentasinya apa hehe), dan pas giliran tanya jawab, dosen saya tanya "As you said, you are a Chinese Indonesian. But to which culture you identify yourself more? Chinese or Indonesian?" Waktu itu jujur saya nggak tau jawabannya (alhasil di depan kelas cengar cengir sendiri karena nggak bisa jawab pertanyaan dosen, duh!)..
Pertanyaan itu membuat saya kilas balik masa-masa tinggal di Jakarta. Jujur saja, saya bisa bilang bahwa saya nggak 100% merasa diri saya "indonesia". Sebagai keturunan Tionghoa, saya banyak melihat diskriminasi yang ditujukan untuk kaum saya. Nggak perlu disebutin lah ya, karena saya sebenarnya nggak ada maksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Miris sih, karena dari generasi kakek saya sudah tinggal di Indonesia, berarti saya sudah generasi ketiga yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Bahasa ibu saya Bahasa Indonesia. Nyanyi lagu kebangsaan pun "Indonesia Raya", pegang paspor pun warna hijau dengan tulisan "Indonesian". Tapi apa nyatanya, sampai saat ini pun saya masih merasa saya adalah kaum minoritas, yang entah sudah bisa diterima dengan baik atau belum oleh penduduk lokal..
Datang ke Taiwan, yang mayoritas adalah orang cina, jadi pengalaman baru untuk saya. Jujur, saya merasa lebih "aman". Susah menjelaskan amannya seperti apa; mungkin semacam rasa tentram dan sense of belonging ketika kita berada ditengah-tengah "sesama" kita. Masuk akal kan? Tapi itu hanya terjadi di awal-awal saya berada disini saja. Ketika saya sudah mulai interaksi dengan penduduk lokal, mulailah berasa seperti "alien" lagi. Kenapa? Karena saya nggak bisa bahasa mandarin! Sering kejadian, misalnya lagi di toko minuman atau lagi ngantri di supermarket, penjaga tokonya nanya sesuatu, dan karena nggak ngerti artinya apa, dengan refleks saya akan bilang "bu hao yi se, wo bu hui shuo zhong wen" yang artinya "mohon maaf, saya nggak bisa bahasa mandarin". Dan apa yang terjadi? Biasanya si penjaga toko atau orang-orang di sekitar saya akan ngeliatin saya dari atas sampe bawah dengan ekspresi kebingungan (mungkin dalam hari mereka ngomong "muka cina, tapi kok nggak bisa ngomong cina") ;p ya begitulah..
Ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang sempat membuat saya "berpikir" mengenai isu ini. Salah satunya adalah pertanyaan (yang lagi-lagi) di kelas Multi-Cultural Counseling. Waktu itu dosen saya tanya "What about Indonesia? Is cognitive-behavior therapy could be applicable to Indonesian culture?" Hmmm.. Respon pertama saya adalah: budaya Indonesia itu seperti apa? Karena selama ini saya dibesarkan dengan adat Tionghoa, yang saya nggak atau apa sama atau beda dengan budaya penduduk lokal. Pengalaman lainnya adalah sharing dosen Indigenous Psychology saya. Waktu itu sedang membahas mengenai pernikahan. Beliau sharing pengalamannya ketika menikah dengan istrinya dulu. Jadi untuk adat Cina, ketika hari H, pengantin laki-laki akan "menjemput" pengantin perempuan di rumah orang tua pengantin perempuan. Mereka akan berlutut di depan orang tua pengantin perempuan, sebagai tanda minta izin sekaligus "pamit" dari rumah tersebut. Keesokan harinya, mereka harus berkunjung lagi ke rumah orang tua pengantin perempuan, tapi sekarang status si perempuan sudah sebagai "tamu" dan bukan lagi sebagai "anak". Wuih..ketika saya dengar cerita itu, respon pertama saya: I don't think I'm "that" Chinese...Hmmm mungkin kalau bisa diukur dari skala 1-100, saya di sekitar 50 atau 60.. Mungkin..
Jadi untuk saya, pengalaman bisa belajar di luar negeri membuat saya agak "melek budaya". Dulu mungkin merasa, nggak perlu lah yang ribet-ribet pake adat istiadat, yang simpel-simpel aja. Tapi sekarang, saya sadar itu adalah salah satu identitas kita. Saya sendiri cukup menyesal kenapa saya sampe nggak bisa bahasa mandarin. Ada beberapa temen-temen lokal yang kayaknya nggak bisa ngerti, keturunan cina kok nggak bisa bahasa mandarin, sampe mereka bilang "I don't understand how you cannot speak chinese. You ARE chinese!" Saya coba jelaskan mengenai diskriminasi yang terjadi di dengan keturunan Tionghoa di masa lalu, tapi tetep aja mereka nggak ngerti.
Saya menulis ini hanya ungkapan refleksi semata, tidak ada maksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Teringat perkataan dosen Indigenous Psychology saya, pada akhirnya kita berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan tujuan untuk mencapai self-understanding, sehingga kita bisa saling mengerti satu sama lain dan tercapai mutual communication di antara kita. Dan, teringat lagi perkataan teman saya yang berasal dari Aceh, biasanya kita baru akan muncul rasa nasionalismenya ketika kita sedang hidup di negeri orang :) Setuju!
~Make peace, not war!
Reference
Matsumoto, D. & Juang, L. (2008).
Culture and psychology (4th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.