Sunday, November 25, 2012

NDHU Culture Night: Sneak Peak

"Everybody who gather here today will feel that the world is small place; we came from different country, yet we all here in this room celebrating the diversity of our culture..."


Electro-Techno Neon Gods

The Dragon Dance

Rainbow Spiral World Percussion

Taiwan Aboriginal Dance 

Hualien Drumming Orchestra

There's a local student who make us an Indonesian flag. Xie xie ni ! :)





Saturday, November 17, 2012

Reflection on being an overseas student: Part 2

"Identity refers to the social groups which an individual sees himself or herself to be a part. All individuals have multiple identities because of the multiple social roles we play - parent, teacher, student, brother or sister, worker, etc. One particularly interesting type of identity is our cultural identity. This refers to individuals' psychological membership in a distinct culture." (Matsumoto & Juang, 2008, p. 341)

One of my deepest reflection on being an overseas student maybe is about finding our true cultural identity. Who am I? Kedengerannya agak-agak basi yah, tapi ini yang saya rasakan disini.. Jadi ceritanya waktu itu lagi mata kuliah Multi-Cultural Counseling. Saya lagi presentasi di depan kelas (lupa topik presentasinya apa hehe), dan pas giliran tanya jawab, dosen saya tanya "As you said, you are a Chinese Indonesian. But to which culture you identify yourself more? Chinese or Indonesian?" Waktu itu jujur saya nggak tau jawabannya (alhasil di depan kelas cengar cengir sendiri karena nggak bisa jawab pertanyaan dosen, duh!)..

Pertanyaan itu membuat saya kilas balik masa-masa tinggal di Jakarta. Jujur saja, saya bisa bilang bahwa saya nggak 100% merasa diri saya "indonesia". Sebagai keturunan Tionghoa, saya banyak melihat diskriminasi yang ditujukan untuk kaum saya. Nggak perlu disebutin lah ya, karena saya sebenarnya nggak ada maksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Miris sih, karena dari generasi kakek saya sudah tinggal di Indonesia, berarti saya sudah generasi ketiga yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Bahasa ibu saya Bahasa Indonesia. Nyanyi lagu kebangsaan pun "Indonesia Raya", pegang paspor pun warna hijau dengan tulisan "Indonesian". Tapi apa nyatanya, sampai saat ini pun saya masih merasa saya adalah kaum minoritas, yang entah sudah bisa diterima dengan baik atau belum oleh penduduk lokal.. 

Datang ke Taiwan, yang mayoritas adalah orang cina, jadi pengalaman baru untuk saya. Jujur, saya merasa lebih "aman". Susah menjelaskan amannya seperti apa; mungkin semacam rasa tentram dan sense of belonging ketika kita berada ditengah-tengah "sesama" kita. Masuk akal kan? Tapi itu hanya terjadi di awal-awal saya berada disini saja. Ketika saya sudah mulai interaksi dengan penduduk lokal, mulailah berasa seperti "alien" lagi. Kenapa? Karena saya nggak bisa bahasa mandarin! Sering kejadian, misalnya lagi di toko minuman atau lagi ngantri di supermarket, penjaga tokonya nanya sesuatu, dan karena nggak ngerti artinya apa, dengan refleks saya akan bilang "bu hao yi se, wo bu hui shuo zhong wen" yang artinya "mohon maaf, saya nggak bisa bahasa mandarin". Dan apa yang terjadi? Biasanya si penjaga toko atau orang-orang di sekitar saya akan ngeliatin saya dari atas sampe bawah dengan ekspresi kebingungan (mungkin dalam hari mereka ngomong "muka cina, tapi kok nggak bisa ngomong cina") ;p ya begitulah.. 

Ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang sempat membuat saya "berpikir" mengenai isu ini. Salah satunya adalah pertanyaan (yang lagi-lagi) di kelas Multi-Cultural Counseling. Waktu itu dosen saya tanya "What about Indonesia? Is cognitive-behavior therapy could be applicable to Indonesian culture?"  Hmmm.. Respon pertama saya adalah: budaya Indonesia itu seperti apa? Karena selama ini saya dibesarkan dengan adat Tionghoa, yang saya nggak atau apa sama atau beda dengan budaya penduduk lokal. Pengalaman lainnya adalah sharing dosen Indigenous Psychology saya. Waktu itu sedang membahas mengenai pernikahan. Beliau sharing pengalamannya ketika menikah dengan istrinya dulu. Jadi untuk adat Cina, ketika hari H, pengantin laki-laki akan "menjemput" pengantin perempuan di rumah orang tua pengantin perempuan. Mereka akan berlutut di depan orang tua pengantin perempuan, sebagai tanda minta izin sekaligus "pamit" dari rumah tersebut. Keesokan harinya, mereka harus berkunjung lagi ke rumah orang tua pengantin perempuan, tapi sekarang status si perempuan sudah sebagai "tamu" dan bukan lagi sebagai "anak". Wuih..ketika saya dengar cerita itu, respon pertama saya: I don't think I'm "that" Chinese...Hmmm mungkin kalau bisa diukur dari skala 1-100, saya di sekitar 50 atau 60.. Mungkin..

Jadi untuk saya, pengalaman bisa belajar di luar negeri membuat saya agak "melek budaya". Dulu mungkin merasa, nggak perlu lah yang ribet-ribet pake adat istiadat, yang simpel-simpel aja. Tapi sekarang, saya sadar itu adalah salah satu identitas kita. Saya sendiri cukup menyesal kenapa saya sampe nggak bisa bahasa mandarin. Ada beberapa temen-temen lokal yang kayaknya nggak bisa ngerti, keturunan cina kok nggak bisa bahasa mandarin, sampe mereka bilang "I don't understand how you cannot speak chinese. You ARE chinese!" Saya coba jelaskan mengenai diskriminasi yang terjadi di dengan keturunan Tionghoa di masa lalu, tapi tetep aja mereka nggak ngerti. 

Saya menulis ini hanya ungkapan refleksi semata, tidak ada maksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Teringat perkataan dosen Indigenous Psychology saya, pada akhirnya kita berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan tujuan untuk mencapai self-understanding, sehingga kita bisa saling mengerti satu sama lain dan tercapai mutual communication di antara kita. Dan, teringat lagi perkataan teman saya yang berasal dari Aceh, biasanya kita baru akan muncul rasa nasionalismenya ketika kita sedang hidup di negeri orang :) Setuju! 

~Make peace, not war!


Reference
Matsumoto, D. & Juang, L. (2008). Culture and psychology (4th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.

Sunday, November 4, 2012

Reflection on being an overseas student: Part 1

Hi everyone! Senang bisa nulis lagi di blog ini, meskipun jujur udah terlalu lama ditelantarkan hehe (mohon dimaapkan).. Hari ini ditengah sumpeknya ngerjain tugas dan baca jurnal, tiba-tiba ada inspirasi  untuk update blog =) Jadilah saya mau cerita sedikit tentang pengalaman jadi mahasiswa asing di negeri Taiwan..Here is the story, enjoy!

Udah hampir 10 bulan saya jadi mahasiswa asing di Taiwan. Kampusku, National Dong Hwa University, terlatak di kota Hualien, sebelah timur Taiwan. Sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan, Hualien sebenarnya cukup pas untuk dijadikan kota pelajar (idealnya, pelajar-pelajar bisa tenang belajar sambil menikmati udara pegunungan tanpa ada distraction berupa bioskop lah, mal lah, cafe, dll). Pertama-tama tinggal disini, cukup nggak biasa juga dengan sunyinya suasana kampus (secara rumahku di Jakarta ada di pinggir jalan raya, tiap malam tidur dengan background suara bajai dan klakson mobil hehehe). Kanan kiri semuanya pohon dan gunung. Tapi setelah beberapa lama, cukup enjoy dengan kesunyian dan udara segar disini =) Kampusku ini guedeeee banget, yang ke-2 terbesar di Taiwan. Fasilitas sih cukup lengkap, termasuk perpustakaan, kolam renang, lapangan tenis, bulutangkis, basket, trek untuk lari, gym, dll.


Disini saya ambil jurusan Clinical and Counseling Psychology (International Program, jadi kuliah dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar). Satu hal yang saya acungkan jempol untuk pelajar Taiwan adalah sifat kompetitifnya. Mereka serius banget mengenai pendidikan. Mungkin salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan disini yang sudah terstandardisasi dan memang sangat kompetitif. Di Taiwan, nilai ujian akhir pas SMA akan menentukan kita masuk universitas mana (khusus universitas negeri). Misalkan, nilai 80-100 masuk Universitas A, 60-79 masuk universitas B, dst. Jadi setiap universitas sudah ada peringkatnya, dan mereka harus berlomba2 untuk bisa masuk universitas idaman. Pertama-tama interaksi sama anak lokal, cukup wow juga. Kadang bisa sabtu malem mereka masih 'nongkrong' di research room untuk baca jurnal, atau kerja kelompok. Waktu itu jujur saya bingung banget dan nggak biasa, dan dengan polosnya nanya "Why you guys still here? Its saturday night right, go to town! Watch movie, shopping!" Mereka cuma mesem-mesem aja, trus bilang "I still have a lot of work to do." Ckckck.. Kita? Mana pernah! Hehehe :p

So far saya cukup enjoy dengan kuliah saya disini; kombinasi antara belajar, travelling, dan ketemu teman-teman baru dari berbagai negara. Banyak suka, duka, dan hal-hal lucu setiap hari. Berhubung saya nggak bisa bahasa mandarin, setiap hari adalah new adventure buat saya. Bayangin aja, kalo kita nggak bahasa, mau ngapa-ngapain juga susah. Beli makanan sih paling standar lah, tinggal ambil trus bayar. Mau fotokopi? Mau perpanjang buku di perpustakaan? Mau pesen taksi? Mau ke dokter? Hayoooo :p Dulu saya inget hari pertama saya di Taipei, ceritanya mau cari jalan dari hotel menuju stasiun kereta. Letaknya padahal cuma bersebrangan, 10-15 menit jalan kaki. Pas sampe di stasiun kereta (Taipei Main Station), terbingung-bingung sendiri saking gedenya itu stasiun. Waktu itu saya dan kakak saya muter-muter cari loket sekitar 1 jam! Ckckck padahal loketnya itu guedeee banget (seperti di gambar), tapi karena kita berkutat di area underground, jadinya nggak ketemu-temu. Tanya sana sini nggak ada yang mudeng bahasa Inggris (menyesal kenapa nggak dari dulu belajar bahasa mandarin, hiikks)..

to be continued~